Hachi-ko - Seekor anjing dari jepang yang mempunyai dan memiliki kesetiaan yang sangat kuat kepada seorang majikannya,terkadang manusia memang harus belajar dari keadaan sekitarnya,,kisah nyata ini telah diangkat dan dikemas dalam bentuk film yang dibuat di Jepang yang berjudul "HACHI-KO"..Hachi-ko adalah sebuah nama dari seekor anjing yang sangat patuh pada majikannya..Anjing ini bernama Hachi karena orang2 sangat sayang sama anjing ini dan diberi nama HACHIKO. KO bearti (sayang).
Siapa tak kenal kisah anjing Hachiko yang setia menunggu tuannya di Stasiun Shibuya, sampai si anjing ini meninggal. Kisah haru ini begitu mendunia sampai difilmkan Hollywood. Kunjungilah monumennya di Shibuya.Stasiun Shibuya adalah salah satu stasiun komuter tersibuk di Jepang. Jutaan orang keluar masuk stasiun dengan untuk memanfaatkan jasa kereta api yang berbagai tujuan yang berhenti di stasiun tersebut. Tidak ada luapan orang, tidak ada yang berjejal. Semua tertib dan nyaman.
Deskripsi - Patung anjing tersebut memang mendapat perhatian khusus. Patung itu menggambarkan seekor anjing duduk dengan arah pandangan ke sebuah gerbong kereta kuno yang sengaja dipasang di bekas rel lama Stasiun Shibuya. Patung itu menunjukkan ekspresi seekor anjing yang sedang mengawasi sesuatu secara seksama, atau tepatnya menunggu sesuatu dengan sabar dan penuh harap.Patung anjing itu memang sangat terkenal di Jepang, terutama di Tokyo. Patung itu didedikasikan untuk Hachiko, nama seekor anjing yang kesetiaannya kepada pemiliknya menginspirasi warga Jepang tentang nilai kesetiaan dan loyalitas.Hachiko adalah seekor anjing dari Akita, sebuah daerah di Jepang. Dia dilahirkan pada tahun 1923 dan sejak kecil dipelihara oleh Profesor Hidesaburo Ueno, guru besar ilmu pertanian di Universitas Tokyo, yang tinggal kawasan Shibuya. Hubungan batin antara sang profesor dengan anjing piaraan ini telah sedemikian akrab setelah selama bertahun-tahun bersahabat. (travel.detik.com)
- Riwayat Hidup Hachiko -
Lahir 10 November 1923 dari induk bernama Goma-go dan anjing jantan bernama Ōshinai-go, namanya sewaktu kecil adalah Hachi. Pemiliknya adalah keluarga Giichi Saitō dari kota Ōdate, Prefektur Akita. Lewat seorang perantara, Hachi dipungut oleh keluarga Ueno yang ingin memelihara anjing jenis Akita Inu. Ia dimasukkan ke dalam anyaman jerami tempat beras sebelum diangkut dengan kereta api yang berangkat dari Stasiun Ōdate, 14 Januari 1924. Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 jam, Hachi sampai di Stasiun Ueno, Tokyo.Hachi menjadi anjing peliharaan Profesor Hidesaburō Ueno yang mengajar ilmu pertanian di Universitas Kekaisaran Tokyo. Profesor Ueno waktu itu berusia 53 tahun, sedangkan istrinya, Yae berusia 39 tahun.
Profesor Ueno pergi mengajar selalu di temani Hachiko tetapi dia hanya mengantarkan majikannya sampai ke stasiun saja,dan setelah Profesor Ueno naik kereta api Hachiko barulah pulang kerumah sang majikan dan siap2 menunggu di depan stasiun tersebut sepulang Profesor pulang..keakraban Antara Hachiko dengan Profesor Ueno sangat baik sekian lama bersama dan hidup bersama dengan Profesor..
Pada 21 Mei 1925, seusai mengikuti rapat di kampus, Profesor Ueno mendadak meninggal dunia karena serangan jantung. Jenazah sang profesor dikebumikan di daerah asalnya, tidak melewati Shibuya. Meski demikian Hachiko terus menunggu dengan setia menunggu kepulangan sang profesor.Hachi terus menunggui majikannya yang tak kunjung pulang, dan tidak mau makan selama 3 hari. Menjelang hari pemakaman Profesor Ueno, upacara tsuya (jaga malam untuk orang meninggal) dilangsungkan pada malam hari 25 Mei 1925. Hachi masih tidak mengerti Profesor Ueno sudah meninggal. Ditemani John dan S, ia pergi juga ke stasiun untuk menjemput majikannya.
Nasib malang ikut menimpa Hachi karena Yae harus meninggalkan rumah almarhum Profesor Ueno. Yae ternyata tidak pernah dinikahi secara resmi. Hachi dan John dititipkan kepada salah seorang kerabat Yae yang memiliki toko kimono di kawasan Nihonbashi. Namun cara Hachi meloncat-loncat menyambut kedatangan pembeli ternyata tidak disukai. Ia kembali dititipkan di rumah seorang kerabat Yae di Asakusa. Kali ini, kehadiran Hachi menimbulkan pertengkaran antara pemiliknya dan tetangga di Asakusa. Akibatnya, Hachi dititipkan ke rumah putri angkat Profesor Ueno di Setayaga. Namun Hachi suka bermain di ladang dan merusak tanaman sayur-sayuran.
Pada musim gugur 1927, Hachi dititipkan di rumah Kikusaburo Kobayashi yang menjadi tukang kebun bagi keluarga Ueno. Rumah keluarga Kobayashi terletak di kawasan Tomigaya yang berdekatan dengan Stasiun Shibuya. Setiap harinya, sekitar jam-jam kepulangan Profesor Ueno, Hachi terlihat menunggu kepulangan majikan di Stasiun Shibuya.
Pada tahun 1932, kisah Hachi menunggu majikan di stasiun mengundang perhatian Hirokichi Saitō dari Asosiasi Pelestarian Anjing Jepang. Prihatin atas perlakuan kasar yang sering dialami Hachi di stasiun, Saitō menulis kisah sedih tentang Hachi. Artikel tersebut dikirimkannya ke harian Tokyo Asahi Shimbun, dan dimuat dengan judul Itoshiya rōken monogatari ("Kisah Anjing Tua yang Tercinta"). Publik Jepang akhirnya mengetahui tentang kesetiaan Hachi yang terus menunggu kepulangan majikan. Setelah Hachi menjadi terkenal, pegawai stasiun, pedagang, dan orang-orang di sekitar Stasiun Shibuya mulai menyayanginya.
- Cerita Anjing Hachiko -
Profesor Hidesamuro Ueno. Dia hanya ditemani seekor anjing kesayangannya, Hachiko. Begitu akrab hubungan anjing dan tuannya itu sehingga kemanapun pergi Hachiko selalu mengantar. Profesor itu setiap hari berangkat mengajar di universitas selalu menggunakan kereta api. Hachiko pun setiap hari setia menemani Profesor sampai stasiun. Di stasiun Shibuya ini Hachiko dengan setia menunggui tuannya pulang tanpa beranjak pergi sebelum sang profesor kembali.. Dan ketika Profesor Ueno kembali dari mengajar dengan kereta api, dia selalu mendapati Hachiko sudah menunggu dengan setia di stasiun. Begitu setiap hari yang dilakukan Hachiko tanpa pernah bosan.
Ini merupakan kisah  yang membuat hati saya tertegun setelah membaca kisahnya. Jika ingin  lebih menghayati lagi, ada trailer dari film Hachiko Monogatari versi  Jepang. Dalam trailer ini, ada kata-kata yang ada dalam backsoundnya  “I’ll be waiting for you” (Aku akan menunggumu)
Sejak itu pula, akhiran kō (sayang) ditambahkan di belakang nama Hachi, dan orang memanggilnya Hachikō.
Sekitar tahun 1933, kenalan Saitō, seorang pematung bernama Teru Andō tersentuh dengan kisah Hachikō. Andō ingin membuat patung Hachikō. Setiap hari, Hachikō dibawa berkunjung ke studio milik Andō untuk berpose sebagai model. Andō berusaha mendahului laki-laki berumur yang mengaku sebagai orang yang dititipi Hachikō. Orang tersebut menjual kartu pos bergambar Hachikō untuk keuntungan pribadi. Pada bulan Januari 1934, Andō selesai menulis proposal untuk mendirikan patung Hachikō, dan proyek pengumpulan dana dimulai. Acara pengumpulan dana diadakan di Gedung Pemuda Jepang (Nihon Seinenkan), 10 Maret 1934. Sekitar tiga ribu penonton hadir untuk melihat Hachikō.
Patung perunggu Hachikō akhirnya selesai dan diletakkan di depan Stasiun Shibuya. Upacara peresmian diadakan pada bulan April 1934, dan disaksikan sendiri oleh Hachikō bersama sekitar 300 hadirin. Andō juga membuat patung lain Hachikō yang sedang bertiarap. Setelah selesai pada 10 Mei 1934, patung tersebut dihadiahkannya kepada Kaisar Hirohito dan Permaisuri Kōjun.
Selepas pukul 06.00 pagi, tanggal 8 Maret 1935, Hachikō, 13 tahun, ditemukan sudah tidak bernyawa di jalan dekat Jembatan Inari, Sungai Shibuya. Tempat tersebut berada di sisi lain Stasiun Shibuya. Hachikō biasanya tidak pernah pergi ke sana. Berdasarkan otopsi diketahui penyebab kematiannya adalah filariasis.
Siapa tak kenal kisah anjing Hachiko yang setia menunggu tuannya di Stasiun Shibuya, sampai si anjing ini meninggal. Kisah haru ini begitu mendunia sampai difilmkan Hollywood. Kunjungilah monumennya di Shibuya.Stasiun Shibuya adalah salah satu stasiun komuter tersibuk di Jepang. Jutaan orang keluar masuk stasiun dengan untuk memanfaatkan jasa kereta api yang berbagai tujuan yang berhenti di stasiun tersebut. Tidak ada luapan orang, tidak ada yang berjejal. Semua tertib dan nyaman.
Deskripsi - Patung anjing tersebut memang mendapat perhatian khusus. Patung itu menggambarkan seekor anjing duduk dengan arah pandangan ke sebuah gerbong kereta kuno yang sengaja dipasang di bekas rel lama Stasiun Shibuya. Patung itu menunjukkan ekspresi seekor anjing yang sedang mengawasi sesuatu secara seksama, atau tepatnya menunggu sesuatu dengan sabar dan penuh harap.Patung anjing itu memang sangat terkenal di Jepang, terutama di Tokyo. Patung itu didedikasikan untuk Hachiko, nama seekor anjing yang kesetiaannya kepada pemiliknya menginspirasi warga Jepang tentang nilai kesetiaan dan loyalitas.Hachiko adalah seekor anjing dari Akita, sebuah daerah di Jepang. Dia dilahirkan pada tahun 1923 dan sejak kecil dipelihara oleh Profesor Hidesaburo Ueno, guru besar ilmu pertanian di Universitas Tokyo, yang tinggal kawasan Shibuya. Hubungan batin antara sang profesor dengan anjing piaraan ini telah sedemikian akrab setelah selama bertahun-tahun bersahabat. (travel.detik.com)
- Riwayat Hidup Hachiko -
Lahir 10 November 1923 dari induk bernama Goma-go dan anjing jantan bernama Ōshinai-go, namanya sewaktu kecil adalah Hachi. Pemiliknya adalah keluarga Giichi Saitō dari kota Ōdate, Prefektur Akita. Lewat seorang perantara, Hachi dipungut oleh keluarga Ueno yang ingin memelihara anjing jenis Akita Inu. Ia dimasukkan ke dalam anyaman jerami tempat beras sebelum diangkut dengan kereta api yang berangkat dari Stasiun Ōdate, 14 Januari 1924. Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 jam, Hachi sampai di Stasiun Ueno, Tokyo.Hachi menjadi anjing peliharaan Profesor Hidesaburō Ueno yang mengajar ilmu pertanian di Universitas Kekaisaran Tokyo. Profesor Ueno waktu itu berusia 53 tahun, sedangkan istrinya, Yae berusia 39 tahun.
Profesor Ueno pergi mengajar selalu di temani Hachiko tetapi dia hanya mengantarkan majikannya sampai ke stasiun saja,dan setelah Profesor Ueno naik kereta api Hachiko barulah pulang kerumah sang majikan dan siap2 menunggu di depan stasiun tersebut sepulang Profesor pulang..keakraban Antara Hachiko dengan Profesor Ueno sangat baik sekian lama bersama dan hidup bersama dengan Profesor..
Pada 21 Mei 1925, seusai mengikuti rapat di kampus, Profesor Ueno mendadak meninggal dunia karena serangan jantung. Jenazah sang profesor dikebumikan di daerah asalnya, tidak melewati Shibuya. Meski demikian Hachiko terus menunggu dengan setia menunggu kepulangan sang profesor.Hachi terus menunggui majikannya yang tak kunjung pulang, dan tidak mau makan selama 3 hari. Menjelang hari pemakaman Profesor Ueno, upacara tsuya (jaga malam untuk orang meninggal) dilangsungkan pada malam hari 25 Mei 1925. Hachi masih tidak mengerti Profesor Ueno sudah meninggal. Ditemani John dan S, ia pergi juga ke stasiun untuk menjemput majikannya.
Nasib malang ikut menimpa Hachi karena Yae harus meninggalkan rumah almarhum Profesor Ueno. Yae ternyata tidak pernah dinikahi secara resmi. Hachi dan John dititipkan kepada salah seorang kerabat Yae yang memiliki toko kimono di kawasan Nihonbashi. Namun cara Hachi meloncat-loncat menyambut kedatangan pembeli ternyata tidak disukai. Ia kembali dititipkan di rumah seorang kerabat Yae di Asakusa. Kali ini, kehadiran Hachi menimbulkan pertengkaran antara pemiliknya dan tetangga di Asakusa. Akibatnya, Hachi dititipkan ke rumah putri angkat Profesor Ueno di Setayaga. Namun Hachi suka bermain di ladang dan merusak tanaman sayur-sayuran.
Pada musim gugur 1927, Hachi dititipkan di rumah Kikusaburo Kobayashi yang menjadi tukang kebun bagi keluarga Ueno. Rumah keluarga Kobayashi terletak di kawasan Tomigaya yang berdekatan dengan Stasiun Shibuya. Setiap harinya, sekitar jam-jam kepulangan Profesor Ueno, Hachi terlihat menunggu kepulangan majikan di Stasiun Shibuya.
Pada tahun 1932, kisah Hachi menunggu majikan di stasiun mengundang perhatian Hirokichi Saitō dari Asosiasi Pelestarian Anjing Jepang. Prihatin atas perlakuan kasar yang sering dialami Hachi di stasiun, Saitō menulis kisah sedih tentang Hachi. Artikel tersebut dikirimkannya ke harian Tokyo Asahi Shimbun, dan dimuat dengan judul Itoshiya rōken monogatari ("Kisah Anjing Tua yang Tercinta"). Publik Jepang akhirnya mengetahui tentang kesetiaan Hachi yang terus menunggu kepulangan majikan. Setelah Hachi menjadi terkenal, pegawai stasiun, pedagang, dan orang-orang di sekitar Stasiun Shibuya mulai menyayanginya.
- Cerita Anjing Hachiko -
Profesor Hidesamuro Ueno. Dia hanya ditemani seekor anjing kesayangannya, Hachiko. Begitu akrab hubungan anjing dan tuannya itu sehingga kemanapun pergi Hachiko selalu mengantar. Profesor itu setiap hari berangkat mengajar di universitas selalu menggunakan kereta api. Hachiko pun setiap hari setia menemani Profesor sampai stasiun. Di stasiun Shibuya ini Hachiko dengan setia menunggui tuannya pulang tanpa beranjak pergi sebelum sang profesor kembali.. Dan ketika Profesor Ueno kembali dari mengajar dengan kereta api, dia selalu mendapati Hachiko sudah menunggu dengan setia di stasiun. Begitu setiap hari yang dilakukan Hachiko tanpa pernah bosan.
Musim dingin di Jepang  tahun ini begitu parah. Semua tertutup salju. Udara yang dingin menusuk  sampai ke tulang sumsum membuat warga kebanyakan enggan ke luar rumah  dan lebih memilih tinggal dekat perapian yang hangat.
Pagi itu, seperti biasa  sang Profesor berangkat mengajar ke kampus. Dia seorang profesor yang  sangat setia pada profesinya. Udara yang sangat dingin tidak membuatnya  malas untuk menempuh jarak yang jauh menuju kampus tempat ia mengajar.  Usia yang semakin senja dan tubuh yang semakin rapuh juga tidak membuat  dia beralasan untuk tetap tinggal di rumah. Begitu juga Hachiko,  tumpukan salju yang tebal dimana-mana tidak menyurutkan kesetiaan  menemani tuannya berangkat kerja. Dengan jaket tebal dan payung yang  terbuka, Profesor Ueno berangkat ke stasun Shibuya bersama Hachiko.
Tempat mengajar Profesor  Ueno sebenarnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Tapi memang  sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Profesor untuk naik kereta setiap  berangkat maupun pulang dari universitas.
Kereta api datang tepat  waktu. Bunyi gemuruh disertai terompet panjang seakan sedikit  menghangatkan stasiun yang penuh dengan orang-orang yang sudah menunggu  itu. Seorang awak kereta yang sudah hafal dengan Profesor Ueno segera  berteriak akrab ketika kereta berhenti. Ya, hampir semua pegawai stasiun  maupun pegawai kereta kenal dengan Profesor Ueno dan anjingnya yang  setia itu, Hachiko. Karena memang sudah bertahun-tahun dia menjadi  pelanggan setia kendaraan berbahan bakar batu bara itu.
Setelah mengelus dengan  kasih sayang kepada anjingnya layaknya dua orang sahabat karib, Profesor  naik ke gerbong yang biasa ia tumpangi. Hachiko memandangi dari tepian  balkon ke arah menghilangnya profesor dalam kereta, seakan dia ingin  mengucapkan,” saya akan menunggu tuan kembali.”
” Anjing manis, jangan  pergi ke mana-mana ya, jangan pernah pergi sebelum tuan kamu ini  pulang!” teriak pegawai kereta setengah berkelakar.
Seakan mengerti ucapan itu, Hachiko menyambut dengan suara agak keras,”guukh!”
Tidak berapa lama petugas balkon meniup peluit panjang, pertanda kereta segera berangkat. Hachiko pun tahu arti tiupan peluit panjang itu. Makanya dia seakan-akan bersiap melepas kepergian profesor tuannya dengan gonggongan ringan. Dan didahului semburan asap yang tebal, kereta pun berangkat. Getaran yang agak keras membuat salju-salju yang menempel di dedaunan sekitar stasiun sedikit berjatuhan.
Tidak berapa lama petugas balkon meniup peluit panjang, pertanda kereta segera berangkat. Hachiko pun tahu arti tiupan peluit panjang itu. Makanya dia seakan-akan bersiap melepas kepergian profesor tuannya dengan gonggongan ringan. Dan didahului semburan asap yang tebal, kereta pun berangkat. Getaran yang agak keras membuat salju-salju yang menempel di dedaunan sekitar stasiun sedikit berjatuhan.
Di kampus, Profesor  Ueno selain jadwal mengajar, dia juga ada tugas menyelesaikan penelitian  di laboratorium. Karena itu begitu selesai mengajar di kelas, dia  segera siap-siap memasuki lab untuk penelitianya. Udara yang sangat  dingin di luar menerpa Profesor yang kebetulah lewat koridor kampus.
Tiba-tiba ia merasakan  sesak sekali di dadanya. Seorang staf pengajar yang lain yang melihat  Profesor Ueno limbung segera memapahnya ke klinik kampus. Berawal dari  hal yang sederhana itu, tiba-tiba kampus jadi heboh karena Profesor Ueno  pingsan. Dokter yang memeriksanya menyatakan Profesor Ueno menderita  penyakit jantung, dan siang itu kambuh. Mereka berusaha menolong dan  menyadarkan kembali Profesor. Namun tampaknya usaha mereka sia-sia.  Profesor Ueno meninggal dunia.
Segera kerabat  Profesor dihubungi. Mereka datang ke kampus dan memutuskan membawa  jenazah profesor ke kampung halaman mereka, bukan kembali ke rumah  Profesor di Shibuya.
Menjelang malam udara  semakin dingin di stasiun Shibuya. Tapi Hachiko tetap bergeming dengan  menahan udara dingin dengan perasaan gelisah. Seharusnya Profesor Ueno  sudah kembali, pikirnya. Sambil mondar-mandir di sekitar balkon Hachiko  mencoba mengusir kegelisahannya. Beberapa orang yang ada di stasiun  merasa iba dengan kesetiaan anjing itu. Ada yang mendekat dan mencoba  menghiburnya, namun tetap saja tidak bisa menghilangkan kegelisahannya.
Malam pun datang.  Stasiun semakin sepi. Hachiko masih menunggu di situ. Untuk  menghangatkan badannya dia meringkuk di pojokan salah satu ruang tunggu.  Sambil sesekali melompat menuju balkon setiap kali ada kereta datang,  mengharap tuannya ada di antara para penumpang yang datang. Tapi selalu  saja ia harus kecewa, karena Profesor Ueno tidak pernah datang. Bahkan  hingga esoknya, dua hari kemudian, dan berhari-hari berikutnya dia tidak  pernah datang. Namun Hachiko tetap menunggu dan menunggu di stasiun  itu, mengharap tuannya kembali. Tubuhnya pun mulai menjadi kurus.
Para pegawai stasiun  yang kasihan melihat Hachiko dan penasaran kenapa Profesor Ueno tidak  pernah kembali mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Akhirnya didapat  kabar bahwa Profesor Ueno telah meninggal dunia, bahkan telah dimakamkan  oleh kerabatnya.
Mereka pun berusaha  memberi tahu Hachiko bahwa tuannya tak akan pernah kembali lagi dan  membujuk agar dia tidak perlu menunggu terus. Tetapi anjing itu seakan  tidak percaya, atau tidak peduli. Dia tetap menunggu dan menunggu  tuannya di stasiun itu, seakan dia yakin bahwa tuannya pasti akan  kembali. Semakin hari tubuhnya semakin kurus kering karena jarang makan.
Akhirnya tersebarlah  berita tentang seekor anjing yang setia terus menunggu tuannya walaupun  tuannya sudah meninggal. Warga pun banyak yang datang ingin melihatnya.  Banyak yang terharu. Bahkan sebagian sempat menitikkan air matanya  ketika melihat dengan mata kepala sendiri seekor anjing yang sedang  meringkuk di dekat pintu masuk menunggu tuannya yang sebenarnya tidak  pernah akan kembali. Mereka yang simpati itu ada yang memberi makanan,  susu, bahkan selimut agar tidak kedinginan.
Selama 9 tahun lebih,  dia muncul di station setiap harinya pada pukul 3 sore, saat dimana dia  biasa menunggu kepulangan tuannya. Namun hari-hari itu adalah saat  dirinya tersiksa karena tuannya tidak kunjung tiba. Dan di suatu pagi,  seorang petugas kebersihan stasiun tergopoh-gopoh melapor kepada pegawai  keamanan. Sejenak kemudian suasana menjadi ramai. Pegawai itu menemukan  tubuh seekor anjing yang sudah kaku meringkuk di pojokan ruang tunggu.  Anjing itu sudah menjadi mayat. Hachiko sudah mati. Kesetiaannya kepada  sang tuannya pun terbawa sampai mati.
Warga yang mendengar  kematian Hachiko segera berduyun-duyun ke stasiun Shibuya. Mereka  umumnya sudah tahu cerita tentang kesetiaan anjing itu. Mereka ingin  menghormati untuk yang terakhir kalinya. Menghormati sebuah arti  kesetiaan yang kadang justru langka terjadi pada manusia. 
Mereka begitu  terkesan dan terharu. Untuk mengenang kesetiaan anjing itu mereka  kemudian membuat sebuah patung di dekat stasiun Shibuya. Sampai sekarang  taman di sekitar patung itu sering dijadikan tempat untuk membuat janji  bertemu. Karena masyarakat di sana berharap ada kesetiaan seperti yang  sudah dicontohkan oleh Hachiku saat mereka harus menunggu maupun janji  untuk datang. Akhirnya patung Hachiku pun dijadikan symbol kesetiaan.  Kesetiaan yang tulus, yang terbawa sampai mati.
Sejak itu pula, akhiran kō (sayang) ditambahkan di belakang nama Hachi, dan orang memanggilnya Hachikō.
Sekitar tahun 1933, kenalan Saitō, seorang pematung bernama Teru Andō tersentuh dengan kisah Hachikō. Andō ingin membuat patung Hachikō. Setiap hari, Hachikō dibawa berkunjung ke studio milik Andō untuk berpose sebagai model. Andō berusaha mendahului laki-laki berumur yang mengaku sebagai orang yang dititipi Hachikō. Orang tersebut menjual kartu pos bergambar Hachikō untuk keuntungan pribadi. Pada bulan Januari 1934, Andō selesai menulis proposal untuk mendirikan patung Hachikō, dan proyek pengumpulan dana dimulai. Acara pengumpulan dana diadakan di Gedung Pemuda Jepang (Nihon Seinenkan), 10 Maret 1934. Sekitar tiga ribu penonton hadir untuk melihat Hachikō.
Patung perunggu Hachikō akhirnya selesai dan diletakkan di depan Stasiun Shibuya. Upacara peresmian diadakan pada bulan April 1934, dan disaksikan sendiri oleh Hachikō bersama sekitar 300 hadirin. Andō juga membuat patung lain Hachikō yang sedang bertiarap. Setelah selesai pada 10 Mei 1934, patung tersebut dihadiahkannya kepada Kaisar Hirohito dan Permaisuri Kōjun.
Selepas pukul 06.00 pagi, tanggal 8 Maret 1935, Hachikō, 13 tahun, ditemukan sudah tidak bernyawa di jalan dekat Jembatan Inari, Sungai Shibuya. Tempat tersebut berada di sisi lain Stasiun Shibuya. Hachikō biasanya tidak pernah pergi ke sana. Berdasarkan otopsi diketahui penyebab kematiannya adalah filariasis.





Comments
Post a Comment